Lalat? AADL? Ada Apa dengan Lalat?
Tenang… Di sini kami menggunakan lalat hanya sebagai sebuah model. Apa yang ingin dibahas sebenarnya adalah lagi-lagi tentang salah satu teknik pemecahan masalah fisika yang baik dan benar (cepat dan selamat). Kami harapkan dengan pemberian beberapa “solusi yang mengejutkan” akan bisa memotivasi kita semua untuk belajar fisika lebih baik lagi.
Beberapa masalah fisika ternyata tidak selalu membutuhkan pengerjaan dengan tangan (corat-coret kertas). Banyak diantaranya yang memiliki beragam solusi, termasuk yang lebih cepat meski hanya sekedar nalar di luar kepala (eh, dalam kepala). Tentu pengalaman dan latihan yang cukup akan membuat kita mampu mengenali soal-soal bagaimana yang dapat dipecahkan langsung tanpa perlu hitung corat-coret dulu di kertas, seperti yang akan dibahas kali ini.
Ceritanya, ada dua buah kereta jalur Bandung-Surabaya, yang jarak kedua kota itu adalah 800 km. Satu kereta memulai perjalanan dari Bandung, satunya lagi dari Surabaya. Kedua kereta bergerak pada jalur yang sama, sehingga pada suatu saat keduanya tentu bisa tabrakan. Kereta S (dari Surabaya) bergerak dengan kecepatan konstan 60 km/jam, sedangkan kereta B (dari Bandung) bergerak dengan kecepatan 40 km/jam.
Pada waktu yang sama, seekor lalat memulai perjalanan dari posisi salah satu kereta (terserah yang manapun) dengan kecepatan 80 km/jam ke arah kereta satunya lagi. Oleh karena laju terbang si Lalat itu lebih cepat dari kedua kereta, tentu suatu saat si Lalat bisa lebih dulu menyentuh kereta yang lain. Nah, setiap kali lalat itu menyentuh salah satu kereta, ia akan bergerak ke arah yang berlawanan menuju kereta satunya lagi (dengan laju dipertahankan 80 km/jam), dan begitu seterusnya hingga kedua kereta tabrakan dan si Lalat mati kegencet.
Pertanyaannya: Berapa km jarak yang ditempuh si Lalat sebelum kematiannya?
Secara alami, biasanya kebanyakan dari kita akan mulai menggambar keadaan sesuai soal tersebut. Apa yang dicari adalah jarak masing-masing lintasan yang ditempuh si Lalat sepanjang perjalanan “bolak-balik”nya. Lintasan yang ditempuh lalat makin lama makin pendek seiring gerak bolak-baliknya dari kereta satu ke kereta lain yang juga bergerak satu sama lain. Hubungan sederhana langsung terpikirkan, “kecepatan kali waktu sama dengan jarak lintasan yang ditempuh”. “Oh, tapi kok banyak sekali lintasan yang harus dihitung satu-satu?”
Gawat kalau begini, bisa frustasi harus hitung pake limit segala (karena jumlah lintasan bolak-balik lalat akan ada cukup banyak)…
Hmm… pasti ada cara lain. Kita coba sekarang gunakan analogi yang lebih sederhana (gunakan sudut pandang yang berbeda). Apa yang ingin kita temukan adalah jarak yang ditempuh lalat. Rumusnya sederhana, seperti yang tadi sudah terpikir; tapi sekarang kita harus tahu dulu waktu perjalanan si Lalat hingga menemui ajal. Jika kita bisa hitung waktunya (waktu tempuh total), maka jarak total langsung bisa dihitung karena kita sudah tahu kecepatannya (yang konstan itu, 80 km/jam):
jarak = (kecepatan) . (waktu)
Waktu tempuh si Lalat dapat dihitung dengan mudah karena ia bergerak selama kedua kereta juga bergerak sampai tabrakan. Ini artinya kita hitung saja waktu hingga terjadinya tabrakan! It’s so simple! Untuk menentukan waktu t (hingga tabrakan), kita buat persamaan berikut: Jarak tempuh kereta S adalah 60t dan jarak tempuh kereta B adalah 40t. Total jarak tempuh keduanya adalah jarak Bandung-Surabaya, 800 km, alias 60t + 40t = 800, sehingga t = 8 jam!
Waktu 8 jam itu pula yang dialami si Lalat hingga dia mati kegencet. Berarti, total jarak yang ditempuh Lalat adalah:
jarak = (80 km/jam) . (8 jam) = 640 km.
Ha…ha…
garing, ya?
[oleh: AhmadRidwan T. Nugraha, Tim Admin 102FM]
Sumber : http://102fm-itb.org/2008/05/kematian-seekor-lalat-terbang/